Ke Indonesia Ku Kan Kembali

March 3, 2016

2016-02-03 12.09.33

 Tuntutan menjadi seorang dosen saat ini adalah harus berpendidikan S3 (doktoral), jika tidak ingin tergerus oleh zaman. Saya pun berkeinginan ingin merasakan pendidikan di luar negeri dalam salah satu jenjang pendidikan saya. Alhamdulillah keinginan tersebut dikabulkan oleh Allah SWT sebagai penguasa dan pemilik alam ini. Saat ini saya tercatat sebagai salah satu mahasiswa Ph.D (S3) di salah satu kampus di Belanda, University of Twente, kampus yang juga meluluskan Hadi Susanto, salah satu orang Indonesia yang bersinar di luar negeri. Hadi Susanto (saat ini menjadi Associate Profesor di University of Essex UK), penulis buku “Tuhan Pasti Ahli Matematika” pendidikan S2 dan S3 ditempuh di kampus yang terletak di kota Enschede, salah satu kota di ujung timur negeri kincir angin.

Di kampus ini, saya ditempatkan satu ruangan dengan 3 mahasiswa yang berasal dari Ukraina, Turki, dan Polandia. Mereka terlihat lebih muda daripada saya, karena memang mereka jauh lebih muda daripada saya.. hehehe. Orang-orang Eropa tidak harus menjadi dosen terlebih dahulu jika ingin sekolah S3, dan 3 teman seruangan saya pun demikian, tergolong “free player”, belum terikat dengan instansi manapun.

Etos kerja mereka (seperti kebanyak orang-orang Eropa) sangat efektif dan efisien. Jika waktunya istirahat ya istirahat, jika waktunya bekerja ya bekerja, jika tidak ingin diganggu mereka akan menggunakan headphone-nya. Jika di ruangan tidak mengenakan headphone berarti mereka sedang tidak serius, dan biasanya bisa diajak bicara/diskusi.

Dari beberapa kali diskusi dengan mereka, ada yang menarik ketika sampai pada pembahasan setelah lulus S3, rencana mereka bagaimana. Jawaban dari rekan yang berasal dari Turki dan Ukraina sama, yang Polandia belum sempat mengutarakan rencananya, karena yang dari Polandia ini relatif jarang terlihat di kampus. Teman seruangan yang dari Ukraina dan Turki ternyata sama-sama tidak berkeinginan kembali ke negara asalnya. Mereka cukup kaget ketika saya menjawab dengan mantap bahwa saya pasti akan kembali ke negara asal saya, Indonesia tercinta.

Saya ceritakan kepada mereka bahwa Indonesia itu ibarat surga dunia, banyak daerah yang memiliki keindahan alam yang sangat menakjubkan, sumber daya alamnya luar biasa, perubahan iklimnya tidak seekstrim Eropa, keanekaragaman hayati dan mineralnya sangat melimpah, dan lain-lain. Dengan mantap saya katakan kepada mereka “I will back to Indonesia and I have to develop my country”. Mereka bertanya, “bagaimana Anda akan membangun negara Anda?” saya jawab, “saya dosen, saya akan berusaha menyampaikan dan mentransformasikan ide-ide saya kepada mahasiswa dan berkarya lewat penelitian-penelitian dan pengabdian masyarakat yang bermanfaat bagi bangsa ini”. Mereka bertanya lagi, “bagaimana anda akan mengubah orang-orang tersebut?” saya menjawab, “yang penting saya berusaha menyampaikan dan mempersuasi, apakah orang tersebut berubah atau nggak itu adalah urusan orang tersebut”.

Iya, tanah air tercinta Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan kekayaan alam dan heterogenitas budaya dan sumber daya manusianya sangat layak menjadi negara besar yang disegani di dunia, tentunya ketika masing-masing sumber daya tersebut (alam dan manusia) dikelola dan dimanage dengan baik. Ke Indonesia Ku Kan Kembali…


Berusaha Semaksimal Mungkin, ALLAH Pasti Memberikan yang Terbaik

February 15, 2016

Salah satu hal yang memotivasi saya untuk memilih pekerjaan menjadi dosen adalah dapat terus sekolah. Bagi saya, melanjutkan sekolah ke tingkat S2 dan S3 dengan biaya sendiri merupakan suatu hal yang sulit untuk dilakukan. Melalui BPPS Dikti, pada tahun 2009 – 2011 saya melanjutkan studi S2 di Fakultas Farmasi UGM Yogyakarta, alhamdulillah pada sekitar bulan Oktober tahun 2011 sudah dinyatakan sah menyandang gelar M.Sc.

Sebenarnya sebelum memutuskan meneruskan studi S2 di UGM, terlintas pikiran ingin studi S2 di luar negeri. Dengan berbagai pertimbangan waktu itu, saya memutuskan melanjutkan studi S2 di UGM. Namun demikian, keinginan untuk belajar ilmu farmasi di negeri orang masih ada dan terus menyala. Dengan belajar ilmu farmasi di luar negeri, saya berharap dapat memperoleh ilmu yang baru, suasana akademik yang berbeda, mitra yang baru, mendapatkan pengalaman internasional, dan lain-lain.

Keinginan tersebut saya biarkan terus menyala di dalam diri saya, sehingga di sela-sela kesibukan saya beraktivitas sebagai dosen di Jurusan Farmasi Unsoed (Universitas Jenderal Soedirman) Purwokerto saya harus menyempatkan belajar bahasa Inggris supaya dapat mencapai skor TOEFL yang menjadi persyaratan utama para pemberi dana beasiswa studi ke luar negeri. Ditambah lagi, sejak Oktober 2013 saya dipercaya menjadi Ketua Jurusan Farmasi Unsoed, menjadikan belajar bahasa Inggris jika tidak disempatkan akan terlantar.

Memasuki Januari 2015, bersama beberapa teman yang berencana akan meneruskan studi S3, saya ikut kursus persiapan tes TOEFL di salah satu lembaga kursus bahasa Inggris di Purwokerto. Pada akhir Maret 2015 saya mengikuti tes TOEFL ITP yang diselenggarakan di lembaga kursus bahasa Inggris tersebut. Alhamdulillah dari tes tersebut menghasilkan skor TOEFL ITP saya masuk rentang persyaratan kebanyakan para pemberi dana beasiswa studi ke luar negeri, meskipun pada batas bawah.

Setelah mempunyai sertifikat TOEFL ITP, perjuangan berikutnya adalah mencari calon profesor yang sesuai dengan bidang yang saya kaji di Farmasi Unsoed. Bidang kajian saya di Farmasi Unsoed adalah teknologi farmasi, yang merupakan bagian dari farmasetika yang arahnya adalah hilirisasi produk farmasi. Teknologi farmasi tidak terpisahkan dengan kajian sistem penghantaran obat, oleh karena itu, dalam mencari calon profesor saya mencari dalam bidang teknologi farmasi dan/atau sistem penghantaran obat.

Saya menelisik satu per satu profesor dari kampus-kampus yang terdatabase di buku panduan BPPLN Dikti dan buku panduan LPDP, dengan prioritas yang berasal dari negara-negara di kawasan Eropa terlebih dahulu. Negara-negara di kawasan Eropa hampir semuanya sudah cukup maju pendidikan dan penelitiannya di bidang farmasi. Publikasi dan karya mereka berkompetisi dengan Amerika Serikat. Selain itu, dengan berlakunya Uni Eropa, saya berharap dapat mengunjungi negara-negara di kawasan tersebut tanpa repot mengurus visa sehingga saya dapat belajar sedikit tentang budaya dan kultur negara-negara yang saya kunjungi tersebut.

Proses korespondensi dengan calon profesor tidaklah sesederhana yang kita bayangkan, meski saat ini hal tersebut dipermudah dengan fasilitas email. Ada yang merespon dan ada yang tidak merespon sama sekali. Korespondensi dengan calon profesor relatif akan lebih ditanggapi oleh calon profesor yang kita kontak, jika kita mengenal seseorang yang kenal dengan calon profesor tersebut.

Waktu terus berjalan, batas akhir pendaftaran beasiswa S3 ke luar negeri pun semakin mendekat, baik itu melalui BPPLN Dikti maupun LPDP. Saya memang memprioritaskan menggunakan dua sumber pemberi dana beasiswa tersebut, mengingat usia yang tidak lagi tergolong muda. Setelah melakukan korespondensi dengan salah satu universitas di Belanda, saya pun segera mendaftarkan diri secara online sebagai calon penerima beasiswa program doktoral luar negeri melalui Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) LPDP.

Setelah seluruh persyaratan administrasi untuk pendaftaran online sudah siap, termasuk dua esai tentang “Kontribusiku buat Indonesia” dan “Apa yang sudah, sedang, dan akan saya lakukan”, saya pun memfinalisasi pendaftaran secara online BPI LPDP tersebut. Seingat saya, tanggal 26 April 2015, proses finalisasi tersebut saya lakukan, satu hari sebelum batas akhir yang ditetapkan oleh LPDP.

Tanggal 10 Mei 2015, pengumuman dari LPDP menyatakan bahwa saya lulus seleksi administrasi dan harus segera mempersiapkan diri untuk pelaksanaan seleksi wawancara dan LGD (Leaderless Group Discussion) di Yogyakarta, sesuai kota yang saya pilih dalam form pendaftaran online. Saya pun mencari-cari info dan membaca diskusi-diskusi tentang seleksi wawancara dan LGD melalui diskusi-diskusi yang ada di internet.

Saya mempersiapkan diri semaksimal mungkin menghadapi seleksi wawancara dan LGD. Datang lebih awal dan menggunakan pakaian yang membuat saya cukup percaya diri. Ketika tiba di lokasi seleksi, bertemu dan diskusi dengan beberapa kenalan yang juga menjadi peserta seleksi, lumayan sebagai kawan bicara menunggu jadwal wawancara dan LGD. Saya mendapat jadwal seleksi wawancara dan LGD dalam waktu satu hari sekaligus sehingga malam itu juga saya langsung pulang ke Purwokerto. Menjelang LGD, dikumpulkanlah kami bersepuluh sebelum masuk ruang, sembilan orang di luar saya langsung mendaulat saya sebagai tetua di kelompok tersebut, karena memang terlihat paling senior. Saya pun bilang ke sembilan teman-teman saya itu, bahwa saya akan berusaha memainkan peran maksimal dalam pelaksanaan LGD tentunya saya harus dapat membawa forum diskusi supaya tidak ada yang terlalu dominan dan tidak ada yang terlalu inferior.

Tanggal 10 Juni 2015 merupakan waktu yang ditetapkan oleh LPDP untuk mengumumkan hasil seleksi wawancara dan LGD. Saya tunggu sampai siang, pengumuman itu belum ada juga. Sekitar jam 15.00 WIB ketika saya selesai menguji skripsi salah satu mahasiswi Kedokteran Gigi Unsoed, salah satu asisten Prof. Dr. Bambang Sunendar dari Teknik Fisika ITB (salah satu pembimbing mahasiswi yang saya uji skripsinya) menghampiri saya dan mengucapkan selamat bahwa saya dinyatakan lulus seleksi wawancara dan LGD, sambil menunjukkan file pdf pengumuman tersebut dari smartphone-nya. Alhamdulillah, saya sangat bersyukur kepada Allah, karena saya yakin semuanya atas kehendak dan skenario Allah. Di dalam hati kecil saya pun bergumam, alhamdulillah insyaa Allah jadi juga nih kuliah S3 di luar negeri.

Perjuangan belum berhenti di pengumuman LPDP, saya harus segera mendapatkan LoA unconditional sebagai persyaratan cairnya beasiswa tersebut. Saya pun segera mengkonfirmasi dan memastikan calon profesor yang bersedia menerima saya sebagai mahasiswa S3-nya tanpa syarat. Sekitar bulan Juni 2015, Prof. Dr. Gert Storm (salah satu profesor di bidang sistem penghantaran obat dari Belanda) datang ke Indonesia. Prof. Gert Storm memiliki dua home base universitas di Belanda, yaitu di University of Utrecht dan University of Twente. Saya memberanikan diri menemui beliau di Fakultas Farmasi Universitas Pancasila (UP) Jakarta. Di sana saya berdiskusi berdua dengan beliau tentang rencana studi S3 saya. Waktu itu beliau mengatakan mempunyai formasi mahasiswa Ph.D di University of Twente, saya bilang tidak ada masalah bagi saya. Alhamdulillah beliau merespon cukup baik dan meminta segera menindaklanjuti pembicaraan di kampus UP tersebut melalui email.

Dua pekan setelah ketemu di UP, saya mengirim email ke Prof. Gert Storm, langsung diteruskan ke calon ko-supervisor saya. Berlanjutlah diskusi via email dan skype dengan pihak University of Twente. Diskusi ini diresmikan dengan diterbitkannya LoA unconditional dari University of Twente dan LoA dari Prof. Gert Storm yang menyatakan saya diterima sebagai mahasiswa Ph.D di laboratorium yang beliau pimpin. Saya diharapkan mulai beraktivitas sebagai mahasiswa Ph.D di bidang Targeted Therapeutics di University of Twente Belanda pada tanggal 1 Februari 2016.

Alhamdulillah, insyaa Allah tanggal 24 Januari 2016 saya bersama beberapa teman yang juga akan studi lanjut (S2 dan S3) di Belanda akan terbang ke Belanda untuk memulai perjuangan menimba ilmu di negeri kincir angin tersebut.